Rabu, 22 Desember 2010

Perjalanan dari sebuah perjalanan Sumedang - Bandung

Berjuang sampai tidak bisa melihat esok...

Sebuah bis AC jurusan Cirebon-Bandung berhenti tepat di depan saya yang sedang menunggu angkutan umum. Begitu masuk, suasana yang panas terik di pinggir jalan berubah sejuk karena pengaruh Air Conditioner bus. “..Ahhhh nyamannya.... “. Tempat duduk lumayan banyak yang kosong, jadi agak leluasan memilih tempat duduk di posisi yang favorit, bangku kedua sebelah kiri bagian belakang, dekat pintu keluar. Sejarahnya mengapa saya menyukai bagian itu di bis, karena dulu pernah membaca hasil penelitian, tempat itulah yang biasanya selalu tersisa dengan utuh pada bis-bis yang mengalami kecelakaan. Ceritanya antisipasi, cari aman nih..... Begitu bis melaju dengan kencang meninggalkan pusat kota Sumedang, tempat duduk bis sudah hampir terisi penuh. Ketika akan masuk jalur Cadas Pangeran, yang sekarang kanan-kiri nya terdapat bekas longsoran tanah dari atas, atau longsor ke bagian bawah (jurang, lho.....) naiklah seorang bapak kira-kira berumur 54 tahunan (terkaan koq angkanya gak biasa ya? Kayak yang tahu persis saja...biarlah, agak dramatisir biar rame.....). Saya sendiri gak begitu memperhatikan si Bapak itu, karena asyik membolak- balikkan halaman Kompas.com membaca topik Rekening Gendut Sang Jendral Polisi.....tiba-tiba keasyikan itu terhenti dengan sapaan penuh hormat si bapak tadi, “Punten Bapa, bilih ngaganggu...punten nya”, sambil duduk agak ke bibir kursi, sepertinya beliau takut badannya menyenggol tangan atau bagian tubuh saya.... Sambil tersenyum, berusaha untuk menyambut keramahan si bapa tadi dengan senyum lebih ramah (walau dibuat-buat...he..he...) “Oh, mangga bapa, teu sawios-wios, wong (bahasa jawana kaluar teu ka kontrol....) korsina oge kangge 2 an....geser atuh, palih dieu, bilih geubis....” sambil menunjukkan tempat kosong yang belum terisi karena si bapak duduknya di tepi kursi. Akhirnya beliau bergeser ke sebelah kiri, dan kayaknya duduknya nyaman. Singkat cerita, terjalin percakapan yang diawali dengan percakapan standar, tanya mau kemana, dari mana..... dan seterusnya. Akhirnya saya tahu, beliau itu namananya Pak Mamat, beliau adalah pengantar bambu (potongan bambu sepanjang 10-15 meter yang ditumpuk kira-kira 15-25 batang yang di tengah-tengahnya disimpan roda delma atau ban mobil, di dorong, di bagian depan dan tengahnya disimpan obor untuk penerangan) yang biasa ditemui oleh kita yang biasa melakukan perjalanan malam melewati Cadas Pangeran ke Bandung dari Citali, wilayah kecamatan Pamulihan-Tanjungsari ke Kiaracondong, atau Cicaheum yang upah sekali antar bambu itu adalah uang Rp.13.000 plus beras 5 Kg. Dalam seminggu, frekuensi beliau mengantarkan bambu ke Bandung sebanyak 2 kali. Berangkatnya jam 10 malam dan sampai di Bandung jam 5 pagi. Beliau nampaknya seorang yang shaleh, pengakuannya, dalam perjalanan mengantar bambu itu beliau biasa menyempatkan untuk shalat malam sambil istirahat di sebuah mesjid, dan tentunya shalat shubuhnya juga gak pernah ketinggalan (teu siga abdi, Subrang wae....) Subhanallah..... Dari percakapan yang semakin mendalam (dengan sedikit mempraktekkan teknik indepth interview, he..he..padahal mah tukang "ngabako" = tukang ngobrol...) terkuak bahwa beliau datang ke Bandung dalam rangka satu urusan....meminta bantuan seseorang dalam rangka pengurusan pengobatan putranya yang sakit. Beliau punya putra 2 orang, yang pertama usia 16 tahun dan yang kedua 4 tahun. Yang sakit adalah anak pertama, menderita kelumpuhan sejak usia 1 tahun sampai dengan sekarang, ditambah, kedua matanya sekarang hampir buta, dan sedang sakit astma akut (yang sekarang sedang diobati), berat badannyapun hanya 22 Kg saja, tentu bisa terbayang anak usia 16 tahun dengan bobot badan seberat itu seperti apa bentuk fisiknya....MasyaAllah.....dia sangat mencintai kedua anaknya itu.....Katanya, “Anak itu titipan tuhan, bukan miliki kita. Kita harus amanah dengan titipan itu, jangan sampai kita dicap Allah sebagai orang yang tak mampu menjalankan amanah, apapun kondisi anak itu, apapun kondisi kita, syukuri saja....”. Hati saya bergetar mendengar itu......jadi teringat si Tegar (si Ferry, yang dianiaya orang tuanya, atau anak yang digilaskan kakinya ke roda kereta api.....Naudzubillah....) Dari cerita Pak Mamat, saya dapat menangkap beliau adalah orang miskin yang sangat besar motivasi hidupnya, pekerja keras, namun sabar...beliau membesarkan kedua anaknya sendiri, istilahnya single parent tea meureun....Tempat berteduhnyapun menempati tanah suatu jawatan perkebunan, dan rumahnya dibuatkan dengan hasil gotong royong masyarakat yang bersimpati dengan beliau. Istri tercintanya telah mendahuluinya pergi ke Sang Maha Pencipta lebih dulu....Kebanggaan akan istrinya itu diekspresikan dalam obrolan sepanjang perjalanan Sumedang-Bandung itu....Beliau sangat mencintai istrinya, istri yang tak sempat beliau bahagiakan....katanya sambil lirih. Dari obrolan ngalor-ngidul (dengan topik spesifik, yaitu tentang hidup dan kehidupan) yang sengaja topiknya saya persempit, ada satu pelajaran yang saya dapatkan dari beliau.Katanya, “HATI ITU IBARAT RAJA ATAU PIMPINAN, BAWAHANNYA ADALAH MATA, MULUT, TANGAN, KAKI, DAN TELINGA....JIKA BADAN KITA DIPIMPIN OLEH PIMPINAN ATAU RAJA YANG BAIK, MAKA BAIK PULA LAH LAKU BAWAHANNYA ITU....BEGITU PULA SEBALIKNYA, PIMPINAN KITA ATAU RAJA KITA BURUK, MAKA BURUK PULA LAH LAKU BAWAHANNYA...KARENA BAWAHAN HANYA DIPERINTAH OLEH RAJA ATAU PIMPINAN.....” Sekian...semoga menjadi pencerahan bagi hidup kita.... Bandung, 1 Juli 2010.....